Photo: Unsplash, by Raimond Klavins
Rintik halus bergulir jatuh dari angkasa,
menyapa bumi dengan senyum merekahnya, lalu menciptakan bau harum yang memikat
Cemara kapanpun ia tiba. Tebakannya benar. Saat pagi tadi ia membuka mata, sang
mentari sedang absen menyambutnya, tergantikan oleh langit yang berbalut kabut
tebal. Rasa-rasanya hari ini akan hujan, pikir gadis itu. Tapi tak apa, semoga
saja hujan dapat menemani saat pilunya rindu mulai menghampiri.
Entah apa yang mengusiknya, Cemara tak dapat
menggambarkan alasan yang mendasari perilakunya sejak pagi tadi. Mungkin itu
hanya sekedar weekly blues yang kerap
melandanya di awal minggu, mungkin juga tumpukan perasaan yang sudah lama ia
pendam sendiri. Tak baik memang. Tapi tak ada yang benar-benar bisa dilakukan
Cemara, selain mengubur perasaannya dalam-dalam. Manusia di sekelilingnya
terlalu sibuk tenggelam dalam urusan mereka masing-masing. Semua seperti sedang
dibelenggu oleh ego yang besar, berjalan terburu-buru di tengah kerumunan, dan
seringnya tak sadar sedang melukai orang yang berjalan di sampingnya.
Helaan napas terselip keluar lewat bibir mungil
Cemara. Sungguh, memikirkan semesta dan seisi manusianya seperti tak ada
habisnya, tak ada matinya. Tiap detik, menit, hingga berjam-jam berusaha
memahami apa isi pikiran mereka takkan pernah cukup. Cemara tak pernah
mengerti. Dia merasa berjalan begitu lambat, hingga kadang terseok-seok di
tengah lintasannya sendiri.
Getar ponselnya membangunkan Cemara dari
lamunannya. Dari bundanya. Gadis itu mendengus malas. Dibiarkannya panggilan
itu terputus dengan sendirinya dan terulang lagi hingga beberapa kali, membuat driver taksi yang ditumpanginya melirik
ke belakang.
Seolah memberanikan diri membaca situasi, supir
taksi itu berkata lirih, “Nggak dijawab, Mbak? Siapa tau penting.” Seulas
senyum sederhana merekah di wajah bapak itu.
Mendengarnya, Cemara hanya bisa tertunduk lesu
dan menjawab seadanya, “Nanti juga berhenti sendiri, Pak. Nggak apa-apa, biarin
aja.”
“Pacarnya ya, Mbak? Lagi berantem?”
Dengan enggan, perempuan berambut coklat terang
itu menggeleng seraya berkata, “Bukan. Itu Bunda saya.”
“Oh.” Kata itu meluncur begitu saja dari si
bapak. Agaknya, sedikit terlalu cepat hingga Cemara sempat menaikkan satu
alisnya, tak mengerti dengan respon yang ia dapat.
Kemudian suasana di dalam taksi hening.
Ponselnya tak lagi bergetar, tetapi ia masih bisa melihat kumpulan pesan yang
dikirimkan Bunda kepadanya. Seperti ikut memainkan hatinya, radio yang sedari
tadi andil dalam memecah keheningan di dalam taksi tiba-tiba memutar lagu sendu
yang tak ia kenali pelantunnya. Helaan napasnya kembali terdengar. Kini ia
menyandarkan kepalanya ke belakang, sambil menatap nanar ke luar jendela mobil.
Hujan masih belum berhenti. Residunya berkumpul di jendela mobil yang kini
basah. Matanya kemudian bertumpu pada sebuah pohon besar di tepi jalan,
mengamati daun-daunnya yang gugur terhempas angin dan menyisakan sebagian
bunganya yang berwarna oranye terang. Kenapa
kau begitu kuat? tanyanya dalam hati.
Diam-diam, supir taksi itu memerhatikan
gerak-gerik Cemara yang terlihat jelas sedang merasa gelisah. Pria itu
tersenyum. Lalu, saat mereka berhenti di lampu merah, ia memberanikan diri
untuk bicara.
“Mbak, nanti kalau ditelepon bundanya lagi,
coba angkat dulu. Semarah-marahnya orang tua, sengeselin apapun mereka, jauh di
dalam hati mereka selalu khawatir sama keadaan anak-anaknya. Apalagi ibu, pasti
lebih suka cemas kalau anaknya nggak bisa dihubungi. Ya saya nggak tau
masalahnya apa sih, tapi dicoba dulu aja. Komunikasiin dulu. Seorang ibu tuh
stok sayangnya ke anak nggak akan ada habisnya, Mbak. Percaya sama omongan
saya,” ujar Bapak itu teramat lembut, seolah sedang menasihati putri kecilnya.
Deg. Sebaris
pesan yang Cemara dapat dari supir taksinya begitu tak terduga—menusuk tepat
sasaran ke hatinya yang memang rapuh. Entah karena lagu yang saat itu tengah
menguasai seisi mobil, atau derasnya suara hujan yang menderu-deru di luar
sana, tapi Cemara merasakan sebulir air mata jatuh di pipi kirinya. Untuk
sesaat, tak ada kata yang terucap dari mulutnya. Beberapa menit berlalu. Ketika
Cemara tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk membalasnya, ia
memutuskan untuk tenggelam dalam diam sembari memandangi dunia luar yang
terlihat hampa.
Ingatannya lalu berlari ke pertengkarannya
dengan sang Bunda, kemarin malam. Ia ingat betul betapa melelahkannya hari itu.
Semua drama yang terjadi di kampus, teman-temannya yang egois, dan bundanya
yang selalu sibuk. Kala baru saja menginjakkan kaki di rumah, Cemara sedang
penat-penatnya. Ia hampir terkapar di sofa. Bahkan perutnya belum terisi sejak
siang. Tapi kemudian Bunda datang, dengan ponsel di tangan kanan dan secangkir
teh di tangan kiri. Kacamata bacanya bertengger di hidung, menandakan ia masih
punya beberapa berkas untuk dikerjakan. Cemara hampir saja memburu bundanya
dengan keluh kesahnya akan hari itu, sebelum bundanya memotong ucapannya dengan
cepat.
“Nanti aja deh ceritanya, kamu mandi dulu gih.
Bunda sibuk nih ada yang harus dikerjain malam ini.”
Seketika darah Cemara serasa mendidih. Semua
kemarahannya sedari pagi seakan terkumpul menjadi satu—ia akan meledak. Benar
saja. Gadis itu kemudian refleks membalas perkataan bundanya dengan tawa sinis.
“Tentu saja. Ara lupa kalau bunda memang selalu sibuk. All the time. Nggak
pernah punya waktu buat sekadar dengerin curhatan Ara. Alright then, good luck
with the papers.”
Cemara berkata begitu cepat hingga wajahnya
memerah. Ia lalu bergegas ke kamarnya dan menutup pintu dengan bunyi ‘brak’
yang keras. Bundanya, kaget dengan tingkah putrinya, kemudian berteriak ke
arahnya, “Ara! Kamu itu kenapa sih? Nggak sopan!”
Cemara mendengar semuanya. Ia juga samar-samar
mendengar omelan sang Bunda dari dapur. Entah apa yang ia kerjakan. Yang jelas
Cemara tak peduli. Gadis itu hanya diam terbaring di kasur, amarahnya begitu
besar hingga ia tak kuasa menahan tangisnya. Ia begitu lelah. Lelah dengan
sunyinya rumahnya semenjak Yangti—neneknya—pergi, dengan dinginnya bunda tiap
berdiskusi, hingga rumitnya lingkup sosialnya di kampus. Ia sedih melihat
bundanya tak lagi sama, tak lagi hangat menyambutnya seperti dulu setiap pulang
ke rumah. Ia terusik tatkala dirinya tak bisa mengutarakan perasaannya, tak
bisa jujur atas apa yang dialaminya, dan tidak bisa mengungkapkannya ke
siapapun. Ia lelah menanggapi teman-temannya yang berisik, yang tidak pernah
benar-benar mendengarkan perkataannya.
Satu persatu hal tersebut menusuk Cemara
seperti duri yang tertancap di kakinya, sulit untuk dicabut dan hampir tak
terlihat. Yang pada akhirnya hanya menyisakan luka tak kasat mata yang kian
sakit jika dipaksa untuk berjalan. Gadis itu berusaha dengan baik untuk tidak
merasakan sakitnya dan hanya mengabaikannya ketika mulai nyeri. Tapi luka kecil
akan tetap berujung besar jika tak segera diobati. Begitu juga lukanya. Tanpa
sadar, tubuh Cemara penuh luka yang tak terlihat.
Memang, sejak Yangti meninggal dua tahun silam,
rumahnya yang biasa ditinggali bertiga kini menjadi teramat sepi. Tak ada lagi
suara hangat neneknya saat Cemara pulang dari sekolah. Tak ada lagi pelukan
hangat yang ia dapat setiap pagi. Tidak ada telor ceplok setengah matang yang
selalu neneknya buatkan jika dirinya merasa tak bersemangat. Rumahnya tak lagi
ramai, tak lagi hangat. Bunda pun berubah. Bahkan jika ia berubah karena
kesedihannya yang mendalam, Cemara tetap merasa tak adil. Dia butuh bersandar
pada bundanya. Dia butuh pelukan bundanya.
“Mbak, ini masih lurus kan?” Pertanyaan supir
taksi yang ditumpanginya seketika membawa Cemara ke masa sekarang. Ia sempat
tergagap, lalu menyadari bahwa mereka telah sampai di dalam perumahan tempatnya
tinggal.
“Iya, Pak. Nanti rumahanya di sebelah kiri ya.
Pagar cokelat.”
Saat hendak turun dari taksi, Cemara
menyempatkan diri untuk berterima kasih kepada sang supir taksi. Meski tak
kenal dekat, rasanya bapak itu sangat mengerti akan apa yang tengah mengusik
pikirannya. Dan berkat dia, Cemara merasa kembali memiliki energi untuk
bertahan dan mencoba lagi.
Gadis itu sempat tertegun sebelum memasuki
rumah. Ia sadar bahwa hujan telah benar-benar berhenti dan samar-samar, manik
matanya menangkap sebuah pelangi yang menggantung cantik di angkasa. Cemara
tersenyum. Mungkin memang sudah waktunya.
“Cemara! Ya Allah, nak. Dari mana saja kamu?
Bunda daritadi telfon nggak diangkat?” Suara nyaring khas Bunda menyeruak saat
Cemara baru saja membuka pintu. Terlihat jelas raut khawatir di raut wajah
bundanya yang refleks merengkuhnya ke dalam pelukan hangat. Peluk pertama yang
ia dapat dalam dua tahun terakhir, yang terasa begitu tulus dan hangat. Seolah
tubuh mereka telah mendambakannya sejak lama.
“Bunda, I’ve got things to tell you. Tapi kali
ini, tolong dengerin ya. Jangan main HP. Just listen to me. Lagian it’s been a
while since we last had a deep talk. Ya?” Cemara tersenyum ikhlas. Tiap kata
yang ia ucapkan begitu lembut dan sedikit lirih, seperti sedang memohon kepada
Bundanya.
Sang Bunda tersenyum melihat putrinya. Air
matanya menetes begitu saja. Agaknya, wanita paruh baya itu juga sadar atas apa
yang kiranya membebani Cemara selama ini. Mungkin benar, mereka hanya butuh
komunikasi, kejujuran, dan keberanian untuk merengkuh segala macam rasa yang
mereka hadapi. Pada akhirnya, meski badai begitu terjal menghantam bumi, ia
akan lewat juga. Hujan pun terasa pilu, tapi ia benar-benar hanya ingin
membantu meluruhkan rasa rindu. Lalu pelangi datang menutup seluruh kesedihan
itu dengan keelokannya. Sejatinya, memang begitulah roda hidup beputar. Tak ada
yang benar-benar abadi.
Made for Kreatory Writing Challenge 2019
0 comments:
Post a Comment