Aku pernah membayangkan tentang masa depan; tentangmu, tentangku, tentang kehidupan.

Tentang segala mimpi kita, setiap serpihan angan yang kita coba raih bersama.

Tentang bagaimana kita menggapainya perlahan, langkah demi langkah, hari demi hari.

Tentang betapa manisnya saat kau kukuh melindungiku kapanpun angin berhembus ngilu di tengah perjalanan menuju tiap butir mimpi itu.
Tentang setiap reruntuhan kenangan manis merekah, terkadang pula pahit menusuk ketika ia kembali menyelinap di memori.

Kemudian di lain hari, aku kembali bermimpi.

Tentang sebuah ruangan kecil namun hangat, sepasang sofa beludru warna biru, sebuah meja antik mungil yang indah, dan setumpuk buku meringkuk dekat jendelamu yang sayu.

Ditambah dua cangkir teh gelap yang tak henti mengeluarkan asap, salah satunya berada dalam genggammu.

Aku lalu beralih menatapmu, mengamati caramu meneguk teh itu, caramu memegang buku yang sedang kau baca, sebelum kemudian mengalihkan perhatianmu padaku, yang membuatmu perlahan menutup buku itu dan merebahkannya di atas meja.

Aku bergeming membalas tatapmu yang tegas namun lembut, semakin hanyut dibawanya saat seulas senyum mengembang di bibirmu.

Seluruh tubuhku membeku, denyut nadiku kian menggebu, dan tanpa kusadari, sudut bibirku terangkat merekahkan senyum haru yang sedikit kaku.

Bahkan di malam-malam berikutnya pun, aku masih saja menemuimu dalam mimpi-mimpi lainnya.

Sedikit banyak aku tau ini lucu, tapi sepertinya aku larut dalam manisnya setiap saat yang kuhabiskan bersamamu.

Sebenarnya, banyak sekali hal yang kuimpikan. Jika itu tentang kehidupan, sejujurnya ia tidaklah melulu tentangmu. Tapi juga tentangku. 2/3 nya, tentu saja. Tentang keluargaku, orang-orang yang kucintai, lalu tentang setiap hal-hal kecil yang kusukai. Dan terakhir, tentangmu. Yang wajahnya masih tak tergambar olehku. Yang namanya bahkan aku belum tahu.