Photo: Unsplash, by Alex Motoc
Angin
sore musim gugur menyapa kulit pucat Hime Kalani untuk kesekian kalinya.
Perlahan, ia mengeratkan mantel merah marunnya dan kembali berjalan di trotoar
sempit itu. Busan hari itu cukup lengang, sesuatu yang jarang ditemui
akhir-akhir ini. Mobil-mobil yang biasanya terjebak dalam kemacetan sore tak
satupun menampakkan wujudnya. Hanya beberapa lelaki paruh baya yang dengan giat
mengayuh sepedanya terlihat melintasi jalanan yang dipenuhi dedaunan pohon ek
yang kini berwarna kecokelatan. Langkah kaki gadis itu terasa berat saat ia
melintasi sebuah taman kota yang selalu ramai di akhir pekan. Bangku-bangku
kayu yang biasa dipenuhi pasangan muda itu kini tak satupun yang terisi.
Sebuah
pikiran tiba-tiba melintas di benak perempuan berambut coklat terang itu.
Berbalik, Hime kemudian memantapkan diri menuju taman tersebut. Dengan cepat ia
menghempaskan tubuhnya ke salah satu bangku di bawah sebuah pohon ek besar,
cukup untuk melindunginya dari serangan angin-angin kecil—pas pula untuk
menyembunyikan isak tangisnya nanti. Lalu dengan sangat hati-hati, dirogohnya
saku bagian dalam mantelnya, mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna cokelat.
Hime mengatupkan bibirnya, jantungnya berdegup kencang. Butuh waktu sebulan penuh bagi gadis itu untuk akhirnya memutuskan membaca surat yang dititipkan Bintang Sadjiwo untuknya. Dan amplop yang mulai lusuh itu kini berada dalam genggamannya. Hanya dibutuhkan satu gerakan jari kecil hingga amplop itu terbuka, tetapi hatinya belum siap untuk hancur. Tidak untuk hari ini, atau bahkan hari-hari selanjutnya.
Hime sebenarnya tahu isyarat apa yang diberikan Bintang saat memutuskan untuk menitipkan surat tersebut ke sahabatnya, daripada memberikannya langsung. Ia tahu betul mengapa dan apa yang kira-kira terlukis di atas secarik kertas itu. Namun ia berusaha keras menepis segala gagasan buruk yang menghantui pikirannya, meski jauh di dalam lubuk hatinya, ia tahu segalanya telah berakhir sejak Juni lalu.
Lima
menit. Sepuluh menit. Gadis itu menghitung hingga menit kelima belas, sebelum
akhirnya membulatkan tekad dan perlahan mengeluarkan kertas yang ada di dalam
amplop bewarna kecoklatan itu. Tangannya gemetar, jantungnya berdebar tak
karuan. Sedetik setelah matanya mendarat pada baris pertama surat itu, sebuah
kristal bening meluncur begitu saja dan membasahi pipi kanannya. Hime menggigit
bibir, jari-jari lentiknya kini mencengkeram erat kertas itu, berusaha
menguatkan dirinya untuk membaca kata demi kata seraya menahan desakan air mata
yang dapat luruh kapan saja. Namun ia sendiri tahu dirinya tidaklah sekuat itu.
Saat ia membaca kalimat terakhir yang ditulis Bintang untuknya, perempuan itu
tidak sanggup lagi. Ia tertegun sejenak, dan dalam sepersekian detik air
matanya tumpah.
Hime
menangis begitu hebat, napasnya memburu, isakannya keras menderu. Dia
benar-benar hancur, berkeping-keping. Dan seolah ingin membantu, angin sore
yang dingin membelai wajahnya lembut, menerbangkan sisa air mata dan serpihan
hatinya yang hancur, membawa mereka pergi menjauh dari gadis itu. Tetapi Hime
tidak punya waktu untuk berterimakasih pada angin. Tubuhnya masih terlalu lemah
untuk melakukan itu—menghentikan tangisnya saja ia belum bisa. Ia bahkan tidak
lagi peduli jika orang lain yang tidak sengaja melintasi taman itu menatapnya
dengan heran atau iba.
Setengah
jam berlalu dan air matanya masih terus berjatuhan, meluncur tak terkendali,
membasahi kertas yang ia pegang. Dalam tangisannya, Hime tak henti memanjatkan
doa. Hatinya memang hancur, tubuhnya seakan telah kehilangan nyawa, tetapi
sisa-sisa harapan yang senantiasa ia teguhkan masih menyemangatinya.
Potongan-potongan kecil itu seolah memeluknya satu persatu, berharap memberinya
sedikit kekuatan mereka untuk kembali mengukuhkan diri dan pelan-pelan berdiri.
Tepat
satu setengah jam Hime menenggelamkan diri dalam tangisan, namun bulir-bulir
bening itu tak kunjung berhenti, hanya isakannya yang kini samar terdengar.
Perempuan itu pelan-pelan merogoh amplop yang ia letakkan di pangkuannya, dan
tubuhnya seketika membeku kala ia mengeluarkan sebuah foto berukuran sedang
dengan latar belakang jingga yang manis. Jemarinya menyusuri pinggiran foto
tersebut, mengingat-ingat momen terakhirnya bersama lelaki yang teramat ia
cintai. Perlahan, kedua sudut bibirnya tetarik ke atas, menyajikan sebuah
senyum tipis yang hangat namun pilu. Direngkuhnya foto itu erat, sebelum air
matanya kembali tak terbendung, dan dengan lapang dada Hime akhirnya membiarkan
mereka semua bergiliran keluar.
Kini
gadis itu ikhlas. Sepenuhnya ikhlas akan kepergian Bintang. Meski raganya
berkata ia tak akan sanggup menjalani kehidupan barunya tanpa sosok laki-laki
tersebut, namun hatinya tahu betul bahwa Tuhan tak akan berbohong. Jika Dia
saja yakin Hime dapat melewati segalanya, maka gadis itu harus tangguh. Ia
tidak berhak menangisi semua ini terus menerus. Ia tidak boleh mengecewakan
Bintang yang menatapnya dari kejauhan. Ia harus bangkit dan kembali berjalan,
bahkan jika hal itu membutuhkan waktu yang lama. Hime berjanji pada dirinya
sendiri untuk tidak menyerah. Semua itu demi Bintang, keluarga mereka, teman
dekat mereka, dan untuk gadis itu sendiri. Ia akan mengikuti skenario yang
digariskan Tuhan, bahkan jika hatinya hancur berkeping-keping.
Hime
Kalani bahagia telah menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup Bintang
Sadjiwo. Ia begitu tulus mencintai lelaki itu, begitupun sebaliknya. Tetapi
Hime tahu betul bahwa tidak ada yang dapat menentang kehendak-Nya, meski jika
anugerah mencintai memang berasal dari Sang Pencipta. Karena itu ia yakin,
bahwa seorang lelaki pilihan-Nya akan merengkuh dirinya kelak, di saat yang
tepat, meski cinta yang sebelumnya ia bangun tak akan pernah bisa bersatu.
0 comments:
Post a Comment